Tag Archive: BOEDI OETOMO


Munculnya aliran sesat di Indonesia berlatarbelakang Kejawen yang melecehkan ajaran-ajaran Islam bukan kali ini saja terjadi. Pada masa lalu, pelecehan terhadap Islam oleh para penganut Kejawen dan aktivis kebangsaan juga kerap dilakukan. Mereka menyebut Islam sebagai agama yang diimpor dari Arab dan tidak cocok bagi masyarakat Jawa. Karena itu, mereka melakukan pelecehan terhadap syariat haji, shalat lima waktu, melecehkan al-Qur’an, dan lain-lain.

Sebut misalnya pelecehan yang dilakukan oleh dr Soetomo, pendiri organisasi Boedi Oetomo. Dalam sebuah pernyataannya di koran Soeara Oemoem, Soetomo pernah mengatakan, “Uang yang digunakan untuk naik haji ke Mekkah sebenarnya lebih baik digunakan untuk usaha-usaha di bidang ekonomi dan kepentingan nasional.” Bagi Soetomo, uang yang dipakai untuk berhaji, tak lain adalah menimbun uang untuk kepentingan asing. Soeara Oemoem juga pernah memuat sebuah artikel yang ditulis oleh orang yang menggunakan nama samaran “Homo Sum”. Tulisan itu mengatakan bahwa ke Boven Digul lebih baik dari pada ke Makkah. Siapa “Homo Sum” itu? Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa itu adalah Soetomo. Soeara Oemoem adalah surat kabar yang dipimpin oleh Soetomo, yang banyak menyajikan berita dan artikel tentang kebatinan.

pelecehan Islam yang mereka lakukan adalah mengulang cerita lama pelecehan-pelecehan yang pernah dilakukan para penganut Kejawen. Mereka seolah menyimpan ‘dendam turunan’, karena kepercayaan Kejawen terkikis oleh ajaran Islam.

Kebanyakan aktivis Kejawen saat itu adalah orang-orang yang berada di bawah pengaruh Theosofi dan Freemasonry. Sebab, pelecehan yang dilakukan mereka terhadap Islam, sama persis dengan pelecehan yang dilakukan oleh para anggota Freemasonry dan Theosofi pada masa itu. Theosofi misalnya, pernah mengatakan, tidak usah beribadah haji ke Mekkah, cukup dengan mengunjungi candi Borobudur saja. Saat itu, kelompok Theosofi di Indonesia menyebut Candi Borobudur sebagai “Baitullah di Tanah Java”.

Pelecehan serupa pernah dilakukan oleh Jong Vrijmeteselarij alias Pemuda Freemasonry di Batavia. Dalam sebuah pertemuan di Loge Broderketen Batavia, seorang propaganda Freemasonry yang menyebut Islam sebagai agama impor dan menghina tempat suci umat Islam, Baitullah, yang menurut mereka tak lebih baik dari Candi Borobudur dan Mendut.” Indonesia mempunyai kultur sendiri dan kultur Arab tidak lebih tinggi dari Indonesia. Mana mereka mempunyai Borobudur dan Mendut? Lebih baik mengkaji dan memperdalam Budi Pekerti daripada mengkaji agama impor. Kembangkan nasionalisme dalam semua bidang!” tegasnya.

Pada 21 April 1904, sebuah Koran Melayu-Jawa bernama “Darmo-Kondo” yang terbit di Surakarta memuat karangan tanpa nama penulis berjudul “Hal Budi Manusia”. Dalam tulisan itu dibahas tentang pengertian Budi. “Di antara keagungan yang ada di dunia, tidak ada yang lebih agung daripada “Budi”…orang berbudi yang tertidur lebih mulia daripada si dungu yang shalat.”

Dalam Koran Djawi Hisworo yang terbit di Solo pada 1918, penganut Kejawen Marthodharsono dan Djojodikromo membuat tulisan yang menghina Nabi Muhammad SAW dengan menyebutnya sebagai pemabuk dan penghisap candu. Penghinaan juga dilakukan aktifis Kejawen yang juga anggota Theosofi, Soewarni Pringgodigdo, yang mengatakan bahwa poligami adalah hal yang nista dan merendahkan perempuan. Soewarni mengatakan, Indonesia tidak akan mendapatkan kemerdekaan yang sempurna selama rakyatnya menyukai poligami. Poligami, katanya, hanya menjerumuskan orang ke jurang kehinaan dan ketidakmerdekaan. Karena itu jika bangsa Indonesia ingin maju dan modern, poligami harus dihapuskan.

Penghinaan terhadap ajaran Islam juga pernah dilakukan oleh aktifis Theosofi-Kejawen Siti Soemandari dalam Majalah Bangoen pada tahun 1937. Dalam beberapa artikel di majalah tersebut, Siti Soemandari sebagai pemimpin redaksi banyak memuat artikel yang melecehkan Islam, terutama tentang pernikahan dan menghina istri-istri Rasulullah. Akibat pelecehan yang dilakukan Majalah Bangoen umat Islam mengadakan rapat akbar di Batavia untuk memprotes artikel tersebut. Apalagi diketahui, Majalah Bangoen dibiayai oleh Freemasonry.

Pelecehan Islam oleh Aliran Sesat Masa Kini

Kasus terbaru tentang aliran sesat Perguruan Santriloka dan Padange Ati (PA), sejatinya adalah mengulang cerita lama pelecehan-pelecehan yang pernah dilakukan para penganut Kejawen. Mereka seolah menyimpan ‘dendam turunan’, karena kepercayaan Kejawen terkikis oleh ajaran Islam.

Mengapa para penganut Kejawen begitu membenci ajaran Islam? Setidaknya kita bisa merunut kisah dari sejarah runtuhnya Kerajaan Mojopahit yang bercorak Hindu-Budha dan berdirinya Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Para raja Demak yang menganut Islam kemudian menyebarkan ajaran Islam ke rakyatnya, dan berusaha membersihkan kepercayaan peninggalan Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa.

Mereka beranggapan, al-Qur’an yang beredar saat ini salah karena dimodifikasi oleh orang-orang untuk merusak Mojopahit, Jawa, dan Pancasila…

Kisah paling terkenal dalam masyarakat Jawa adalah tentang Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang (1426-1517), penganut kebatinan yang menyebarkan ajaran wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti), yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan. Ajaran Syekh Siti Jenar kemudian dianggap meresahkan oleh Wali Songo, para mubaligh Islam pada masa Kerajaan Islam Demak, karena bisa membawa kepada kesesatan. Syekh Siti Jenar kemudian dipanggil para wali dan petinggi kerajaan. Karena tetap mempertahankan keyakinannya, Syekh Siti Jenar akhirnya dihukum gantung di hadapan Sultan Fatah.

Meski sudah mati, ajaran Syekh Siti Jenar masih berkembang di Jawa. Mereka yang menganut paham wihdatul wujud atau al-hulul masih menjadikan Siti Jenar sebagai panutan, terutama oleh berbagai aliran kebatinan. Mereka yang meyakini Syekh Siti Jenar sebagai waliyullah, seperti menyimpan dendam turunan pada ajaran Islam. Sampai akhirnya muncul berbagai pernyataan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama impor yang menjajah tanah Jawa. Pernyataan ini pernah dilontarkan oleh para aktivis Theosofi dan Freemasonry pada masa-masa suburnya gerakan tersebut di negeri ini.

Sebagai bukti bahwa penganut Kejawen seperti “menyimpan dendam turunan” pada ajaran Islam adalah kasus terbaru munculnya Perguruan Ilmu Kalam Santriloka, di Mojokerto, Jawa Timur, pada Oktober 2009. Santriloka menyatakan bahwa Islam adalah agama impor yang bertujuan menjajah tanah Jawa. Mereka juga beranggapan, al-Qur’an yang beredar saat ini salah, karena sesungguhnya al-Qur’an itu bukan dalam bahasa Arab, melainkan bahasa Kawi, bahasa Sanskerta, dan bahasa Jawa Kuno. Al-Qur’an yang beredar saat ini disebut sebagai buatan orang Arab untuk menjajah bangsa Indonesia. Karena mereka yakin bahwa al-Qur’an sesungguhnya dalam bahasa Jawa Kuno, maka bagi mereka al-Qur’an sebenarnya diturunkan di tanah Jawa kepada para wali dan Dewa. Naf’an menegaskan, ”Al-Qur’an yang ada ini, dimodifikasi oleh orang-orang untuk merusak Mojopahit, Jawa, dan Pancasila. Siapa yang bertanggungjawab kalau al-Qur’an ini salah. Apa Nabi mau tanggungjawab.

Santriloka juga mengaku menjalankan kepercayaan wihdatul wujud dan meyakini Syekh Siti Jenar sebagai waliyullah yang bisa menjadi sarana tawassul. “Syekh Siti Jenar merupakan salah satu wali yang kami tawassul saat wiridan, ” ujar Ahmad Naf’an pimpinan perguruan sesat ini. Bagi para penganut kebatinan Syekh Siti Jenar adalah waliyullah yang dizalimi oleh para penganut Islam pada masa Kerajaan Demak

Doktrin Pluralisme
Seperti juga doktrin Theosofi yang kental dengan aroma pluralisme, Santriloka dan juga catatan-catatan dalam kitab para penganut Kejawen juga sangat kental dengan paham yang sama. Santriloka misalnya, menggunakan motto “Iman Sedarah” yang maksudnya agama apa saja pada intinya sama dalam keimanan. Mereka juga menolak surat al-Kafirun dalam Al-Qur’an yang dianggap bisa memecah-belah umat manusia. “Surat Al-Kafirun, itu sesat. Bukan kalam Allah tapi suara orang Arab. Bagaimana, kok bisa Tuhan Allah mengecam dan menyuruh orang agar memusuhi orang yang dianggap kafir, ” tegas Naf’an.

Doktrin pluralisme juga bisa dilihat dalam Darmogandul. Kitab  penganut Kejawen ini banyak berisi pelecehan terhadap ajaran Islam. Ajaran-ajaran Kejawen yang mirip dengan doktrin-doktrin yang ada pada ajaran Kristen…

Ketika para penganut Kejawen mengatakan bahwa tak perlu beribadah haji ke Mekkah, cukup dengan mengunjungi Borobudur dan Islam adalah agama impor yang menjajah tanah Jawa, maka jelaslah “sikap dendam” mereka terhadap ajaran Islam yang dianggap bertanggungjawab dalam runtuhnya peradaban Jawa Kuno yang bercorak Hindu-Budha.

Doktrin pluralisme juga bisa dilihat dari Kitab Darmogandul, kitab para penganut Kejawen yang banyak berisi pelecehan terhadap ajaran Islam. Dalam kitab tersebut, banyak ajaran-ajaran Kejawen yang mirip dengan doktrin-doktrin yang ada pada ajaran Kristen. Isi Kitab Darmogandul dalam beberapa hal justru menunjukkan bahwa penulisnya yang no name (tanpa nama) terlihat lebih menguasai ajaran-ajaran Kristen. Dalam kitab ini penulisnya berusaha untuk menggambarkan bahwa agama Kristen lebih unggul dibanding agama-agama lain. Kristen dalam Darmogandul digambarkan dengan imej positif, sementara Islam digambarkan dengan sangat negatif, bahkan melecehkan. (Lihat: Susiyanto: Jejak Syariah Phobia dalam Pemikiran Jawa, (Makalah), 2009).

Dalam Kitab Darmogandul disebut istilah wit kawruh yang berarti “Pohon Pengetahuan”, sebuah idiom yang terdapat dalam ajaran Kristen seperti tercatat dalam Kitab Perjanjian Lama dalam Kejadian 2:16-17: “Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”. Dalam istilah yang hampir sama, ajaran Kabbalah menggunakan istilah “Pohon Kehidupan” (Tree of Life).

Berikut kutipannya:

“… Kang diarani agama Srani iku tegese sranane ngabekti, temen-temen ngabekti mrang Pangeran, ora naganggo nembah brahala, mung nembah marang Allah, mula sebutane Gusti Kanjeng Nabi Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang mujudake, mangkana kang kasebut ing kitab Ambiya.”

(Yang dinamakan agama Nasrani artinya sarana berbakti benar-benar berbakti kepada Tuhan, tanpa menyembah berhala, hanya menyembah Allah, Maka gelar Gusti Kanjeng Nabi Isa adalah Putra Allah, karena Allah yang mewujudkannya, demikian yang termaktub dalam kitab Ambiya).

Kisah dalam Kitab Darmogandul juga merujuk pada Perjanjian Lama yang dijadikan dasar rujukan oleh Kristen dan Yahudi. Misalnya kisah mengenai putra Nabi Daud yang disebut akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan ayahnya. Kudeta tersebut gagal, dan sang anak mati tersangkut di pohon.

Berikut kutipannya:
“…carita tanah Mesir, panjenengane Kanjeng Nabi Dawud, putrane anggege keprabone rama, Nabi dawud nganti kengser saka nagara, putrane banjur sumilih jumeneng nata, ora lawas Nabi Dawud saged wangsul ngrebut negarane. Putrane nunggang jaran mlayu menyang alas, jaranae ambandang kecantol-cantol kayu, putrane Nabi Dawud sirahe kecantol kayu, ngati potol gumantung ana ing kayu, iya iku kang di arani kukuming Allah.”

(cerita dari Mesir, Beliau Nabi Dawud, putranya bernafsu menggantikan kekuasaan sang ayah. Nabi Dawud sampai terdesak meloloskan diri keluar dari Negara, Anaknya tersebut kemudian menggantikan sebagai raja, tidak seberapa lama Nabi dawud kembali berhasil merebut negaranya. Anaknya melarikan diri dengan mengendarai kuda menuju ke hutan. Kuda tersebut berlari tanpa tentu arah tersangkut-sangkut kayu. Putra Nabi dawud kepalanya menyangkut di kayu sampai terpotong menggantung dikayu. Itulah yang dinamakan hukum Allah).

Dalam perjanjian Lama, Kitab Samuel 2 pasal 15-18 diceritakan, Absalom putra Raja Daud berusaha mengadakan makar dengan menghimpun kekuatan rakyat untuk memberontak terhadap ayahnya. Dalam pemberontakan itu, Absalom kalah dan tewas mengenaskan dengan kepala tersangkut di atas pohon saat melarikan diri dengan menggunakan bagal, binatang keturunan kuda dan keledai. (Susiyanto, Ibid, hal.6)

Contoh doktrin-doktrin pluralisme juga bisa dilihat dari ajaran-ajaran yang menjadi kepercayaan organisasi-organisasi Kejawen seperti Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Agama Sapta Dharma, Paguyuban Sumarah, Paguyuban Ilmu Sejati, Susila Budi Dharma, Agama Jawa-Sunda, dan lain-lain. Organisasi-organisasi ini meyakini bahwa semua agama adalah sama.

Politik Kolonialis
Mengenai asal usul Kejawen, sejarawan Niels Mulder mengatakan, ”Kejawen sejauh yang kita ketahui saat ini jelas-jelas merupakan sebuah produk dari pertemuan antara Islam dengan peradaban Jawa Kuno, produk dari penjinakan, penundukkan kerajaan-kerajaan Jawa oleh kongsi dagang Hindia Timur (VOC), hasil dari pertemuan kolonial antara orang Jawa dan Belanda.” (Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2009).

Karena persentuhannya dengan kolonialisme dan aliran-aliran lain seperti Theosofi yang berupaya merusak Islam, maka wajar jika ajaran kebatinan juga banyak melecehkan ajaran Islam…

Niels menggambarkan bahwa Kejawen adalah “produk penjinakan dan penundukkan” kerajaan-kerajaan Jawa oleh VOC. Dan seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa banyak dari pegawai VOC, dari juru tulis sampai jabatan tertinggi, adalah para keturunan Yahudi yang di kemudian hari membangun jaringan Freemasonry dan Theosofi di Indonesia. Niels menegaskan, orang Jawa dan Eropa bertemu dalam masyarakat Theosofis, dalam kawruh beja (Ilmu Kebahagiaan).

Soal pengaruh kolonialis dalam Kejawen juga dinyatakan oleh Buya Hamka. Dalam tulisannya tentang perkembangan kebatinan di Indonesia, Hamka menyatakan bahwa ada upaya-upaya dari kelompok orientalis Belanda yang menyusup ke dalam ajaran kebatinan atau Kejawen, dengan berkedok meneliti ajaran kepercayaan Jawa tersebut, kemudian menyebarkannya ke kalangan masyarakat Islam dengan tujuan perusakan akidah. Mereka menyebarkan propaganda bahwa kebatinan tak ubahnya sebagai sufisme dalam Islam.

Hamka mengatakan, “Sarjana-sarjana orientalis seperti Snouck Hurgronye, Dr Drewes, Dr Rinkes, dan lain-lain mengkaji secara ilmiah tasauf kuno dan kejawen, kemudian disebarkan kepada masyarakat. Sehingga disimpulkan oleh mereka bahwa tasawuf Islam adalah “al-hulul” atau “bersatunya kawula nan gusti”. Tujuannya, apabila tasawuf sudah dipelajari secara mendalam, maka syariat tidak perlu lagi. Orang Islam yang bertasawuf bisa mencapai persatuan dengan Tuhan.” (Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1974).

Karena persentuhannya dengan kolonialisme dan aliran-aliran lain seperti Theosofi yang berupaya merusak keyakinan Islam, maka wajar jika ajaran-ajaran kebatinan juga banyak melecehkan ajaran Islam. Tentang jihad misalnya, para penganut kebatinan mengatakan, ”berjuang melawan hawa nafsu sendiri karena isyq dan cinta kepada Tuhan Semesta Sekalian Alam lebih tinggi nilainya daripada mati syahid di medan perang karena mempertahankan agama dari serbuan musuh.”

Antara misi Kristen dengan penjajahan Belanda memang satu paket. Dan untuk melakukan pelemahan terhadap Islam yang saat itu begitu gigih melakukan perlawanan terhadap kolonialisme, menghasut dengan membuat cerita-cerita negatif dan melecehkan adalah salah satu cara yang mereka gunakan. Tak tertutup kemungkinan, mereka melakukan politik pecah belah, memukul dengan menggunakan tangan kelompok kebatinan, yang memang sudah dari dulu menyimpan ‘dendam’ dengan umat Islam akibat jatuhnya Mojopahit ke tangan kerajaan Demak. [Artawijaya/voa-islam.com

“Kebangkitan Nasional” berdengung disekitar pendengaran kita. Menurut buku pelajaran dari SD hingga SMA, pada tanggal 20 Mei 1908 telah terjadi suatu pergerakan menuju awal gerakan nasional dalam mengatasi penjajahan di bumi Indonesia yang dipromotori oleh mahasiswa-mahaiswa STOVIA yang biasa disebut dengan “Budi Utomo”. Dr. Sutomo pun di daulat menjadi salah satu “pengisi” awal dari pergerakan Budi Utomo. Dari SD sampai SMA bahkan mungkin perguruan tinggi kita sudah di doktrin tentang kedahsyatan hari yang disebut kebangkitan nasional ini yang selalu menjadi titik awal kaum terpelajar di Indonesia.

Kita bahkan tidak mengetahui atau bahkan tak acuh tentang bagaimana sejatinya pergerakan Budi Utomo ini. Budi Utomo merupakan pergerakan yang menurut fakta sejarah sejatinya masih bersifat sangat kedaerahan, belum mencakup tingkat nasional dan bahkan masih berada di dalam taraf kelokalan.

Gerakan ini ternyata menyimpan sebuah tabir misteri yang berkaitan dengan sebuah organisasi rahasia Yahudi Internasional di bawah pendudukan Belanda yang disebut dengan organisasi Freemason (Tarekat Mason Bebas) atau yang dikenal pada waktu penjajahan Belanda disebut dengan “Vrijmetselarrij”. Fakta ini jarang sekali diungkap kedalam ranah pendidikan nasional karena memang sangat dirahasiakan sekali usaha dari organisasi terselubung ini.

Di dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962**” dijelaskan dengan gamblang bagaimana campur tangan freemason terhadap Budi Utomo dalam kaitanya menyebarluaskan faham keyahudian di dalam tubuh budi Utomo ini. Kita dapat lihat pada kutipan berikut ini:

“…pengaruh Tarekat Mason Bebas atas emansipasi segmen penduduk Indo-Eropa telah mendapat perhatian , tidaklah terlupakan bahwa mereka juga mempunyai pengaruh dalam gerakan nasional Indonesia. Kaum Mason Bebas sudah pada tahap dini mengadakan hubungan dengan salah satu organisasi politik Indonesia yang pertama, yang bernama ‘’Budi Utomo’’ ”. (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, hal. xviii).

Hamengku Buwono VIIIMangkunegaran vii SoloMangkunegaran vii SoloMangkunegaran vii SoloPakualam_VIIIPakubowono_VIIIResiden SurakartaDari kiri Kekanan : Hamengku Buwono VIII – Mengkunegaran VII – Paku Alam VIII – Pakubowono VIII – Residen Surakarta
Sekilas mereka memakai seragam yg banyak kemiripan dgn seragam para pejabat Belanda yg rata rata anggota Freemason, apakah ini suatu kebetulan?

Pada awal masa gerakan nasional kaum Mason bebas sudah berusaha menguasai perpolitikan Indonesia dengan cara sokongan keuangan bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berbakat. Kehebatan kaum Mason Bebas di Indonesia ini pada kemudian hari tampak pada pendirian sekolah-sekolah dan perpustakaan yang tersebar hamper diseluruh Indonesia, kita dapat lihat lokasi-lokasi dan waktu berdirinya sekolah-sekolah bentukan kaum Freemason ini,:

1875 di Semarang
1879 di Batavia
1885 di Yogyakarta, dua sekolah
1887 di Surakarta dan Magelang
1888 di Buitenzorg (Bogor)
1889 di Padang dan Probolinggo
1892 di Semarang, sekolah kedua
1897 di tegal
1898 di Bandung dan Manado
1899 di Aceh
1900 di Malang
1903 di Malang, sekolah kedua
1905 di Bandung, sekolah kedua
1907 di Blitar
1908 di Surabaya
1900 di Padang, Magelang (sekolah kedua) dan Medan, Makssar, Kediri
1926 di Malang, sekolah ketiga

Selain mendirikan sekolah-sekolah, para anggota Tarekat Mason Bebas di Indonesia ini juga mendirikan berbagai perpustakaan di berbagai daerah. Di semarang pada tahun 1875 di buka peprustakaan yang disebut “De Verlichting” dan pada tahun 1917 ditempatkan di Perpustakaan Pusat dan Ruang Baca Umum. Jenis perpustakaan itu dengan berjalannya waktu, muncul hampir bersamaan dengan di semua tempat yang ada loge. Pada tahun 1877 didirikan sebuah perpustakaan di Padang dan kemudian:

1878 di Yogya
1879 di Surabaya
1882 di Salatiga
1889 di Probolinggo
1890 di Buitenzorg (Bogor)
1891 di Bandung
1892 di Menado
1895 di Manado
1897 di Tegal
1899 di Medan
1902 di Ambon
1902 di Malang
1908 di Magelang
1907 di Blitar

Usaha-usaha dari kaum Mason Bebas ini juga berujung pada perekrutan anggota-anggota pada Budi Utomo yang ditarik untuk menjadi anggota Tarekat Mason Bebbas ini. Usaha penetrasi dari luar sangatlah sukar mengingat kaum terpelajar pada saat itu masih dibilang relative sedikit, untuk memuluskan usaha-usaha Mason ini, mereka melakukan penetrasi kedalam tubuh Budi Utomo. Dalam usaha Freemason ini, rupanya bantuan dana merupakan sumber utama untuk menyebarluaskan manifesto politik Freemason pada Budi Utomo, seperti bantuan dari Loge Mataram (cabang Freemason di Yogyakarta waktu itu):

“ Tarekat Mason Bebas…”melalui perantaraan Paku Alam”, memberikan bantuan kepada “Budi Utomo”. Loge Jogya “Mataram” ia sebut sebagai suatu lembaga yang berbakti dan pantas dihormati”. (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, hal. 48).

Beberapa tokoh Indonesia yang menjadi member Budi Utomo juga sejatinya merupakan aktifis dari Tarekat Mason Bebas ini, kita dapat lihat seperti Pangeran Arionotodirojo (1858-1917). Masuk keanggotaan loge Mataram pada tahun 1887 dan memegang berbagai jabatan kepengurusan. Ia ketua Boedi Oetomo antara tahun 1911-1914. pada tahun 1913 ia mendirikan Sarekat Islam Cabang Yogya yang banyak beranggotakan elit Jawa. Notodirojo seorang yang disegani dan dianggap sebaga pergerakan rakyat Jawa, selanjutya kita temukan Raden Adipati Tirto Koesoemo Bupati Karanganyar. Anggota Loge Mataram sejak tahun 1895. ketua pertama Boedi Oetomo. Pada kongres ke dua Boedi oetomo, yang diadakan di gedung Loge Mataram, ia mengusulkan pemakaian Bahasa Melayu, mendahului Sumpah Pemuda.

Dan tokoh yang dipanggil menhadap Marsekal Terauchi ke kota Saigon bersama Ir. Sukarno dalam kaitanya dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu Dr. Radjiman Wediodipoera (Wediodiningrat) 1879-1952. Antara tahun 1906 dan 1936 dokter pada keraton Solo. Sarjana dan penulis mengenai falsafah budaya. Pejabat ketua Boedi Oetomo 1914-1915. pada tahun 1945 memainkan peranan penting sebagai ketua dari Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Sebenarnya gerakan kebangkitan nasional versi Budi Utomo ini lebih dapat disebut sebagai usaha bercokolnya Yahudi di Indonesia melalui selubung kaum Freemason atau Tarekat Mason Bebas, karena kita juga dapat temui komunitas Yahudi di Indonesia.

Jika Yahudi pra kemerdekaan yang tergabung di dalam Freemason itu hengkang setelah keputusan Presiden pertama Ir. Sukarno tentang organisasi terlarang Freemason (dan organisasi terselubung lainnya seperti Rotary Club dan Lions Club), ternyata di kemudian hari Freemason dan Yahudi ini kembali eksis setelah sembunyi-sembunyi.

Modus operandi mereka mengaku sebagai keturunan Arab, umat awam pasti akan terkecoh karena Yahudi dan Arab dalam segi fisik tak jauh berbeda. Bukti eksisnya Yahudi ini dapat kita telusuri. Contoh paling mudah tentang eksisnya Yahudi serta Sinagognya yang sampai detik ini masih eksis berdiri karena dipertahankan sebagai Cagar Budaya, dapat kita lihat pada daerah Surabaya, tepatnya Jalan Kayon no. 4 Surabaya, utara Delta Plaza Surabaya saat ini, di daerah Gubeng, seperti tampak pada foto di bawah ini:

Jalan Kayon no. 4 Surabaya, Jawa Timur, anda tinggal berjalan kaki menghadap utara dari Monumen Kapal Selam Surabaya, maka akan terlihat rumah Synagogue tersebut di sisi kanan jalan.

**Buku Tarekat Mason Bebas ini hanya dicetak 5000 eksemplar oleh Pustaka Sinar Harapan, dan hanya diterbitkan 1 kali cetak yaitu pada tahun 2004, menurut keterangan dari Masyhud SM (penerjemah dan penulis buku best seller “Misteri Natal” dan “Dialog Santri-Pendeta”) yang penulis hubungi lewat telepon selulernya, buku tersebut hak penerbitan dan pencetakannya telah dibeli oleh orang Yahudi, karena memang tujuan buku ini bukan untuk konsumsi publik, melainkan dipersembahkan kepada para anggota dan mantan anggota dari Tarekat Mason Bebas di Hindia-Belanda dulu dan di Indonesia